gunadarma

gunadarma
universitas gunadarma

Minggu, 22 Mei 2011

perselisihan perburuhan dan penyelesaiannya

Dibandingkan dengan penyelesaian perselisihan perburuhan ( industrial ) melalui P4 ( baik P4d/P), penyelesaian perselisihan perburuhan melaui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), memberikan sejumlah kemudahan bagi buruh. Gugatan perselisihan hubungan industrial dapat diajukan kepada PHI pada PN yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja. Penghapusan biaya gugatan dan biaya eksekusi untuk nilai gugatan sampai senilai Rp.150.000.000, berperkara dapat diwakili oleh Serikat Pekerja serta keaktifan dari hakim. Sebelumnya penyelesaian perselisihan hubungan industrial melaui P4, butuh waktu penyelesaian yang cukup lama.Proses penyelesaian perselisihan perburuhan mekanismenya adalah melalui P4d dan P4p. Penyelesaian perselisihan melaui P4 tidak ada ketegasan mengenai batas waktu.UU no.22/19657 tidak memberikan batasan waktu kapan suatu perselisihan perburuhan harus sudah mulai diperiksa dan sekaligus diselesaikan oleh P4D dan P4P. Setelah memalui P4D maupun P4P, perselisihan tidak berakhir sampai disitu, Bagi pihak yang tidak puas, masih terbuka upaya hukum, yaitu gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN). dan apabila tidak dapat menerima putusan PTTUN upaya selajutnya adalah kasasi ke MA. Dikedua instansi peradilan ini, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perkara adalah cukup lama. Tidak dapat dipastikan kapan perkara dapat diputuskan. terlebih-lebih di tingkat kasasi,waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perkara akan jauh lebih lama lagi.Prosesnya akan memakan waktu tahunan.Proses hukum yang sedemikian lama dan berliku, bagi sebagian buruh menyebabkan mereka sudah kehabisan nafas duluan.Ketika perkara masih berlangsung pihak pengusaha secara sengaja tidak membayar gaki. Dengan tidak dibayarnya upah, menjadikan buruh kehabisan tenaga utnuk meneruskan perkara.Akibatnya, buruh menyerah sebelum perkara diputuskan atau membiarkan perkara itu berjalan begitu saja seiring dengan berjalannya waktu.Prosedur dan waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang sedemikian panjang dan berbelit dalam UU N0.22 TH.1957 sudah dihapus oleh UU No. 2/2004 tentang penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Pasal15 menentukan bahwa mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat 4 UU No.2/2004

 

(1) Perselisihan industrial dapat terjadi antara pihak :
a. pengusaha dan pekerja;
b. pengusaha atau gabungan pengusaha dan serikat pekerja atau gabungan serikat pekerja.
(2) Perselisihan industrial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi perselisihan :
a. pelaksanaan syarat-syarat kerja di perusahaan;
b. pelaksanaan norma kerja di perusahaan;
c. hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja; dan
d. kondisi kerja di perusahaan.
Pasal 56
(1) Setiap perselisihan industrial diselesaikan secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2) Setiap pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja atau gabungan serikat pekerja bersama-sama melakukan upaya untuk mencapai penyelesaian perselisihan industrial melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
Pasal 57
Dalam hal upaya yang dilakukan melalui perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak mencapai kesepakatan, pihak yang berselisih dapat menempuh jalan penyelesaian melalui jalur pengadilan atau jalur di luar pengadilan.
Pasal 58
Jalur di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57, dapat ditempuh melalui arbitrasi atau meditasi.
Paragraf Kedua
Arbitrasi
Pasal 59
(1) Penyelesaian perselisihan industrial oleh arbitrasi hanya dapat dilakukan atas dasar kehendak dan kesepakatan para pihak yang berselisih.
(2) Kehendak dan kesepakatan para pihak yang berselisih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian.
(3) Surat perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekurang-kurangnya memuat keterangan :
a. nama dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbitrasi untuk diselesaikan dan diambil keputusan;
c. nama dan alamat arbiter anggota sidang arbitrasi yang ditunjuk;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrasi;
e. pernyataan penyerahan sepenuhnya kepada arbiter untuk menentukan proses atau tata cara kerja arbitrasi dalam penyelesaian tugasnya;
f. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang berselisih.
Pasal 60
Penunjukan arbiter anggota sidang arbitrasi dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih.
Pasal 61
Surat perjanjian yang diajukan oleh para pihak yang berselisih tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan setelah dimulainya sidang arbitrasi.
Pasal 62
Keputusan arbitrasi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang berselisih dan merupakan keputusan yang bersifat akhir dan tetap.
Pasal 63
(1) Keputusan arbitrasi memuat :
a. kepala keputusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA":
b. hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh para pihak yang berselisih;
c. ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut para pihak yang berselisih;
d. pertimbangan yang menjadi keputusan; dan
e. pokok putusan
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi keterangan tentang tempat keputusan diambil, tanggal, nama, dan ditandatangani oleh arbiter anggota sidang arbitrasi.
Pasal 64
Pengambilan keputusan oleh sidang arbitrasi dilaksanakan berdasarkan hukum, keadilan, kebiasaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 65
Ketentuan mengenai persyaratan untuk menjadi arbiter, tata cara penunjukkan arbiter, dan biaya arbitrasi diatur oleh Menteri.
Paragraf Ketiga
Mediasi
Pasal 66
(1) Apabila para pihak yang berselisih tidak berkehendak dan bersepakat untuk menyelesaikan perselisihannya melalui arbitrasi, penyelesaian perselisihan dapat dilakukan melalui mediasi.
(2) Penyelesaian perselisihan industrial melalui mediasi dilakukan atas dasar permintaan salah satu atau kedua belah pihak yang berselisih.
Pasal 67
Permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) disampaikan secara tertulis kepada pegawai perantara yang bertindak sebagai mediator.
Pasal 68
(1) Mediator melakukan sidang mediasi dan menyelesaikan tugasnya dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan industrial.
(2) Penyelesaian perselisihan industrial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam bentuk anjuran tertulis.
Pasal 69
(1) Apabila perselisihan industrial dapat diselesaikan melalui mediasi, mediator membuat persetujuan bersama yang ditandatangani oleh mediator dan para pihak yang berselisih.
(2) Para pihak yang berselisih tunduk dan melaksanakan persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 70
Ketentuan mengenai persyaratan untuk menjadi mediator, pengangkatan mediator, dan tata kerja mediasi ditetapkan oleh Menteri.
Paragraf Keempat
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Industrial
Pasal 71
Apabila perselisihan industrial tidak dapat diselesaikan melalui mediasi, mediator dengan memberitahukan kepada para pihak yang berselisih, segera melimpahkan perselisihan tersebut kepada lembaga penyelesaian perselisihan industrial.
Pasal 72
Lembaga penyelesaian perselisihan industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, bertugas menyelesaikan perselisihan industrial.
Pasal 73
(1) Sebelum terbentuk lembaga penyelesaian perselisihan industrial sebagaimana dimaksud dalam pasal 72, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat tetap melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai lembaga penyelesaian perselisihan industrial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan diatur dengan undang-undang.
Paragraf Kelima
Mogok Kerja
Pasal 74
Setiap pekerja berhak untuk mogok kerja.
Pasal 75
Mogok kerja dilakukan apabila perselisihan industrial tidak dapat diselesaikan sendiri oleh pihak yang berselisih dan/atau tidak dapat diselesaikan melalui penyelesaian perselisihan industrial.
Pasal 76
Mogok kerja hanya dapat dilakukan di perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 77
(1) Dalam hal mogok kerja dilakukan dengan alasan pengusaha tidak melaksanakan ketentuan yang bersifat normatif yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau kesepakatan kerja bersama, pengusaha wajib membayar upah selama pekerja mogok kerja sampai pengusaha melaksanakan kewajibannya.
(2) Dalam hal mogok kerja dilakukan dengan alasan di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha tidak diwajibkan membayar upah selama pekerja mogok kerja.
Pasal 78
(1) Mogok kerja hanya dapat dilakukan setelah wakil pekerja/serikat pekerja/gabungan serikat pekerja yang akan melakukan mogok kerja memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pengusaha dan instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditandatangani oleh epngurus serikat pekerja atau wakil pekerja yang akan melakukan mogok kerja.
(3) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya harus sudah diterima oleh pihak yang diberitahu dalam waktu 7 (tujuh) kali 24 (dua puluh empat) jam sebelum dilakukan mogok kerja.
Pasal 79
(1) Mogok kerja dilakukan dengan tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum, dan/atau mengancam keselamatan jiwa dan harta benda milik perusahaan atau milik masyarakat.
(2) Pengusaha dilarang melakukan tindakan yang bersifat pembalasan jika mogok kerja dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
Pasal 80
Ketentuan mengenai tata cara mogok kerja diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf Keenam
Penutupan Perusahaan (Lock-Out)
Pasal 81
Setiap pengusaha berhak untuk melakukan penutupan perusahaan (lock-out).
Pasal 82
Penutupan perusahaan (lock-out) dilakukan apabila perselisihan industrial tidak dapat diselesaikan sendiri oleh pihak yang berselisih dan/atau tidak dapat diselesaikan melalui penyelesaian perselisihan industrial.
Pasal 83
(1) Penutupan perusahaan (lock-out) hanya dapat dilakukan setelah pengusaha yang akan melakukan penutupan perusahaan (lock-out) memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada serikat pekerja dan/atau wakil pekerja dan instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pengusaha yang akan melakukan penutupan perusahaan (lock-out).
(3) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya harus sudah diterima oleh pihak yang diberitahu dalam waktu 14 (empat belas) kali 24 (dua puluh empat) jam sebelum dilakukannya penutupan perusahaan (lock-out).
Pasal 84
Ketentuan mengenai tata cara penutupan perusahaan (lock-out) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf Ketujuh
Pemutusan Hubungan Kerja
Pasal 85
Pengusaha, pekerja, dan/atau serikat pekerja harus melakukan upaya untuk menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja.
Pasal 86
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerjanya dalam hal :
a. pekerja berhalangan masuk kantor karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus.
b. pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja menikah, hamil, melahirkan, atau gugur kandungan;
e. pekerja mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam kesepakatan kerja bersama atau peraturan perusahaan; dan
f. pekerja mendirikan, menjadi anggota, dan/atau menjadi pengurus serikat pekerja.
Pasal 87
Apabila setelah diadakan segala upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, pengusaha harus memusyawarahkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan serikat pekerja atau dengan pekerja yang bersangkutan dalam hal pekerja tidak menjadi anggota serikat pekerja.
Pasal 88
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemutusan hubungan kerja dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar